Kira-kira
sepuluh jam yang lalu sebuah nomor tak dikenal menghubungiku.
Dia
bilang dia mau bertemu. Aku tak risau sama sekali. Kuiyakan saja tanpa banyak
basa basi. Aku katakan padanya aku bisa ditemui pukul 5 sore di tempat ini.
Kafe milik Kavita, sahabatku sejak masuk kuliah. Siapa dia? Kurasa aku akan
segera mengetahuinya. Aku tak mau mengira-ira, apa yang dia inginkan dari
pertemuan ini. Memangnya apa yang aku
punya?
Latte
di depanku masih panas. Kavita baru saja menyeduhkan cangkir kedua untuk sore
yang dingin. Dia berkata dengan bercanda, jangan-jangan wanita di telepon itu
sebagian dari masa laluku. Aku nyengir pahit. Tidak mungkin, aku tak pernah
dekat dengan wanita manapun, apalagi pacar. Kavita justru yang aneh, dia bisa
memahami laki-laki error sepertiku
ini. Kesukaan kami sama, secangkir kopi
dan setumpuk buku di sore yang indah.
Pintu
kafe berderik halus. Aku melihat sesosok berkaus hitam-putih panjang dan celana
jins yang tidak terlalu ketat. Here she
is, desisku. Kavita menyambutnya ramah, lalu mengerling padaku. Wanita
berambut sebahu itu menghampiri tempat dudukku. Aku membenarkan posisi dudukku
dan tersenyum canggung.
“Halo,
saya Rena,” sambutnya sambil mengulurkan tangan.
“Aldo,”
jawabku. Kami berjabat tangan. Dia tersenyum sekilas.
“Kau
mau pesan? Semua jenis kopi di kafe ini enak, asli kopi premium, Kavita sendiri
yang menggilingnya,” tawarku sedikit
promosi. Dia tertawa kecil.
“Apa
saja boleh, saya nggak terlalu paham dan suka kopi,”
“Kav,
cappuccino satu ya!” dari meja bar, Kavita mengacungkan jempolnya.
Aku
menatap perempuan itu. Dia menunduk, sesekali menghela nafas. Aku hanya
menunggu. Menunggu satu kalimat yang mungkin akan menjadi deretan cerita setebal
novel Harry Potter seri terakhir yang tak pernah aku selesaikan itu. Detik-detik
berlalu dan dia tetap diam. Apa apaan
ini? Aku disuruhnya membaca pikiran? Memangnya aku cenayang?
Sampai
cappuccino miliknya datang, dia masih diam menunduk. Kavita menelengkan kepala
padaku. Aku hanya mengangkat bahu. Mana
kutau dia ngapain?
Kalau
wanita ini mencari pembaca pikiran, dia datang pada orang yang salah. Maka
detik selanjutnya aku memaksa pita suaraku bertanya,”Ada apa kamu mencariku?”
“Kamu
kenal orang ini?” dia menyodorkan selembar foto.
Aku
menyelidik foto itu. Kurasa aku pernah
melihatnya, tapi dimana? Dahiku berkerut. Foto itu menampilkan seorang
laki-laki perlente berlatar jalan raya. Berkemeja biru dongker dan bercelana
hitam. Senyum tipisnya menggurat di wajah yang terlihat masih sepantaran
kakakku. Kutaksir umurnya masih sekitar 30 tahunan.
“Aku
sedang berusaha mengingatnya, banyak orang bertemu denganku setiap hari. Aku
tak mengenal mereka satu persatu, Rena.” Jawabku jujur.
Rena
menghela nafas. Aku jadi tidak tega melihat raut wajah penuh harapnya.
“Dia
siapa kamu?” tanyaku singkat. Tak kusangka pertanyaan ini akan panjang
jawabannya. Dia menyeruput cappuccino-nya sedikit lalu menatapku. Tatapan itu
penuh; luka, kecewa, kasihan.
“Namanya
Eka Pandu. Dia suami kakak saya,” Rena menatapku, seperti meminta persetujuan
apakah dia boleh bercerita lebih banyak. Aku mengangguk, menyuruhnya meneruskan
cerita.
“Kakak
saya namanya Reni, usianya 28 tahun sekarang. Mas Pandu dan Mbak Reni menikah 4
tahun silam dengan beda umur 4 tahun lebih tua Mas Pandu. Walaupun begitu
mereka serasi sekali. Mbak Reni sangat mencintai Mas Pandu, sebagai istri yang
baik dia menuruti apapun keinginan dan perintah Mas Pandu. Saya dekat dengan
Mbak Reni, jadi saya tau seberapa cintanya dia.”
Rena
diam sejenak. Matanya mengawang, seperti sedang mengingat wajah bahagia Mbak
Reni-nya. Mungkin Reni saking cintanya sampai harus melepas semua mimpinya demi
bersama laki-laki bernama Pandu itu. Atau Reni keluar dari pekerjaannya sebagai
manajer sebuah perusahaan migas demi ikut tugas suaminya yang pindah wilayah. Hei, kenapa aku jadi ikutan mengkhayal? Bukannya
tadi aku berjanji tak mau mengira-ira? Aku mendengus. Tapi sepertinya Rena
tidak sadar.
“Tiga
tahun berlalu, mereka belum dikaruniai seorang anak. Mbak Reni sering bercerita
pada saya bagaimana Mas Pandu yang mulai sering uring-uringan. Wajar bagi saya,
karena memang begitu adanya seorang lelaki, bukan? Hingga terakhir Mbak Reni ke
dokter dan saya menemaninya untuk periksa. Mas Pandu sedang ada rapat seharian
jadi tak mungkin menemaninya. Dan…kami terkejut untuk kali pertama, mengetahui
apa yang terjadi dengan Mbak Reni,”
Aku
mulai tertarik, “Kenapa dia?”
Rena
menghela nafas lalu meneruskan,”Mbak Reni sakit. Kanker rahim stadium 2,”
“Bagaimana
bisa dia tidak menyadari?” tanyaku keheranan.
“Mbak
Reni sangat aktif. Walaupun tidak bekerja kantoran, dia ikut mengelola yayasan
anak di kota kami. Dia beberapa kali mengeluh sakit perut, tapi dia pikir itu
biasa saja. Hingga yah, tes dokter mengatakan semuanya. Mbak Reni menyuruh saya
merahasiakan ini dari Mas Pandu. Tapi apalah, seorang suami mempunyai insting
yang kuat bukan kepada istrinya? Terbongkarlah semuanya. Mas Pandu mengunci
diri di kamar yang lain seharian. Dan saya yang bertugas menemani Mbak Reni
selama itu. Orang tua kami belum tau, dan saya rasa sebentar lagi mereka tau.”
“Mas
Pandu keluar dari kamar hari berikutnya. Dia berkata pada saya, dia akan
membantu biaya pengobatan Mbak Reni. Saya lega awalnya, saya pikir dia suami
yang bertanggungjawab. Tapi saya salah,” Reni mulai berlinangan air mata.
“Dia
menceraikan kakakmu?” tebakku.
“Tidak.
Dia memang memberi sejumlah uang untuk penyembuhan Mbak Reni. Sepekan kemudian
dia menghilang. Kami mencoba mengontak semua nomornya, bahkan ke kantornya. Tapi
dia seperti lenyap dari bumi. Mbak Reni menangis terus, dan penyakitnya tambah
parah. Kamu tau, kesembuhan seseorang kadang ditentukan dengan seberapa
semangatnya untuk bertahan hidup. Dan Mbak Reni kehilangan itu. Dia terus
menyalahkan dirinya dan berkata dia tidak bisa hidup tanpa Mas Pandu. Kondisinya
terus memburuk, kankernya bahkan mencapai stadium empat dalam beberapa bulan
ini. ada satu hal yang membuatnya terus bertahan….”
“Apa
itu?” tanyaku penasaran.
“Dia
percaya, dia tidak akan mati sebelum dia menemukan Mas Pandu.”
Aku
mengusap wajah. Apa-apaan ini, kupikir cerita seperti ini hanya ada dalam novel
dan sinetron picisan yang suka ditonton ibuku di rumah. Ternyata benar ada, dan
seorang Rena menceritakan semuanya di depanku. Seorang gadis yang baru saja
kukenal –bahkan aku tidak tau nama lengkapnya dan berapa umurnya- menceritakan
semua problema hidup kakaknya. Jangan-jangan aku dibodohi? Tapi dari wajahnya
sepertinya dia jujur.
“Bagaimana
bisa kamu menemukanku?”
“Saya
hanya ingat dimana Mas Pandu dulu kuliah. Lalu saya melihatmu di selebaran
seminar, lulusan universitas yang sama dengan Mas Pandu. Dari sanalah saya
mendapat nomormu,”
Oke,
manusia bernama Eka Pandu ini sealmamater denganku? Bahkan aku tidak tau dia
angkatan berapa dan jurusan apa. Apa gadis ini berpikir satu kampus seperti
satu sekolah jaman SD?
“Bisakah
kamu membantu saya menemukan Mas Pandu? Saya tidak tau berapa lama lagi Mbak
Reni bertahan. Tapi saya ingin mewujudkan keyakinannya,”
“Kenapa
kamu mau melakukan ini?”
“Karena
saya sangat mencintai Mbak Reni. Lebih dari diri saya sendiri. Saya tau saya
berlebihan. Tapi, dialah kakak, teman, sekaligus guru hidup yang sudah
mengajarkan saya banyak hal. Saya hanya ingin membuatnya bahagia di akhir
hidupnya,”
Cinta, ya? Kudengar cinta memang
dahsyat, tapi aku baru menemukan cinta yang hebat dari adik ke kakaknya ada
dalam diri Reni dan Rena. Apa ini memang terjadi pada banyak orang, ataukah aku
yang tidak merasakan dan memperdulikannya? Baiklah, hubunganku dengan Zaqi
memang tak semesra Rena dan Reni.
“Kalau
aku belum bisa menemukannya?”
Rena
terseyum, pahit.
“Saya
berusaha mencari Mas Pandu, dengan cara apapun. Tidak dengan kamu pun, saya
akan mencarinya sampai ketemu,”
“Kalau
Pandu ketemu, kamu mau apa?”
“Memintanya
menengok Mbak Reni, sekali saja. Bagi saya itu cukup, dan bagi Mbak Reni juga,”
Aku
menghela nafas lagi. Jadi PR-mu sekarang
Aldo, mencari manusia bernama Eka Pandu demi Reni yang penasaran.
“Baiklah,
kalau aku tau infonya nanti kukabari. Nomor tadi pagi milikmu, kan?”
Rena
mengangguk, matanya berbinar,”Terimakasih!”
Dia
menghabiskan cappuccinonya dan bersiap pergi. Aku masih ingin di sini. Menghabiskan
Latte yang mulai dingin sambil mengecek agendaku besok.
Handphone
Rena berdering, dia sedikit terperanjat.
“Halo,
Laras. Ya, ada apa?”
Aku
tak bisa mendengar suara di ujung telepon, tapi aku kira berita buruk karena
kemudian wajah Rena tampak terkejut dan panik.
“Astaga,
oke, aku segera pulang. Satu jam lagi aku sampai, Ras. Oke makasih, Ras.”
“Ada apa?” tanyaku begitu dia menutup telepon.
“Kondisi
Mbak Reni kritis, saya harus segera kembali ke rumah sakit.”
“Oke,
hati-hati, semoga Reni baik-baik saja,”
“Terimakasih,
saya duluan.”
Begitu
dia keluar kafe, aku termenung. Panggilan Kavita tak kuhiraukan. Segera aku
membuka buku agendaku. Oke ini zaman gadget, tapi aku lebih suka menuliskannya
di buku agenda. Hmm… besok hari Rabu, ya…
Ø Meeting klien 09.00
Ø
Isi seminar leadership dengan Eka Pandu 13.00
Wait…
Oh, Tuhan! Aku ingat sekarang. Eka Pandu adalah seorang enterpeneur di kota ini
dan besok dia seminar bersamaku!
Segera
aku menelepon Wasta, panitia seminar mahasiswa yang menjadi LO ku untuk meminta
nomor Eka Pandu. Sedikit tergesa aku kembali menelepon Rena. Berkali-kali tidak
diangkat. Mungkin dia sedang dalam perjalanan.
Tiba-tiba
aku ingat perkataan Rena barusan.
“Ada satu hal yang membuatnya terus bertahan.
Ia percaya, dia tidak akan mati sebelum dia menemukan Mas Pandu.”
------------------------------------the
End -----------------------------------
ditulis oleh : The Phantomhive. contact her at seven.united73@gmail.com
fiksi ini diikutkan dalam kompetisi give away "berawal dari kalimat pertama" http://mandewi.com/2015/01/30/giveaway-berawal-dari-kalimat-pertama/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar