Selasa, 17 Februari 2015

Temukan Dia untuk Cintaku

Kira-kira sepuluh jam yang lalu sebuah nomor tak dikenal menghubungiku.

Dia bilang dia mau bertemu. Aku tak risau sama sekali. Kuiyakan saja tanpa banyak basa basi. Aku katakan padanya aku bisa ditemui pukul 5 sore di tempat ini. Kafe milik Kavita, sahabatku sejak masuk kuliah. Siapa dia? Kurasa aku akan segera mengetahuinya. Aku tak mau mengira-ira, apa yang dia inginkan dari pertemuan ini. Memangnya apa yang aku punya?

Latte di depanku masih panas. Kavita baru saja menyeduhkan cangkir kedua untuk sore yang dingin. Dia berkata dengan bercanda, jangan-jangan wanita di telepon itu sebagian dari masa laluku. Aku nyengir pahit. Tidak mungkin, aku tak pernah dekat dengan wanita manapun, apalagi pacar. Kavita justru yang aneh, dia bisa memahami laki-laki error sepertiku ini. Kesukaan kami sama, secangkir  kopi dan setumpuk buku di sore yang indah.

Pintu kafe berderik halus. Aku melihat sesosok berkaus hitam-putih panjang dan celana jins yang tidak terlalu ketat. Here she is, desisku. Kavita menyambutnya ramah, lalu mengerling padaku. Wanita berambut sebahu itu menghampiri tempat dudukku. Aku membenarkan posisi dudukku dan tersenyum canggung.

“Halo, saya Rena,” sambutnya sambil mengulurkan tangan.


“Aldo,” jawabku. Kami berjabat tangan. Dia tersenyum sekilas.

“Kau mau pesan? Semua jenis kopi di kafe ini enak, asli kopi premium, Kavita sendiri yang menggilingnya,”  tawarku sedikit promosi. Dia tertawa kecil.

“Apa saja boleh, saya nggak terlalu paham dan suka kopi,”

“Kav, cappuccino satu ya!” dari meja bar, Kavita mengacungkan jempolnya.

Aku menatap perempuan itu. Dia menunduk, sesekali menghela nafas. Aku hanya menunggu. Menunggu satu kalimat yang mungkin akan menjadi deretan cerita setebal novel Harry Potter seri terakhir yang tak pernah aku selesaikan itu. Detik-detik berlalu dan dia tetap diam. Apa apaan ini? Aku disuruhnya membaca pikiran? Memangnya aku cenayang?

Sampai cappuccino miliknya datang, dia masih diam menunduk. Kavita menelengkan kepala padaku. Aku hanya mengangkat bahu. Mana kutau dia ngapain?
Kalau wanita ini mencari pembaca pikiran, dia datang pada orang yang salah. Maka detik selanjutnya aku memaksa pita suaraku bertanya,”Ada apa kamu mencariku?”

“Kamu kenal orang ini?” dia menyodorkan selembar foto.

Aku menyelidik foto itu. Kurasa aku pernah melihatnya, tapi dimana? Dahiku berkerut. Foto itu menampilkan seorang laki-laki perlente berlatar jalan raya. Berkemeja biru dongker dan bercelana hitam. Senyum tipisnya menggurat di wajah yang terlihat masih sepantaran kakakku. Kutaksir umurnya masih sekitar 30 tahunan.

“Aku sedang berusaha mengingatnya, banyak orang bertemu denganku setiap hari. Aku tak mengenal mereka satu persatu, Rena.” Jawabku jujur.

Rena menghela nafas. Aku jadi tidak tega melihat raut wajah penuh harapnya.

“Dia siapa kamu?” tanyaku singkat. Tak kusangka pertanyaan ini akan panjang jawabannya. Dia menyeruput cappuccino-nya sedikit lalu menatapku. Tatapan itu penuh; luka, kecewa, kasihan.

“Namanya Eka Pandu. Dia suami kakak saya,” Rena menatapku, seperti meminta persetujuan apakah dia boleh bercerita lebih banyak. Aku mengangguk, menyuruhnya meneruskan cerita.

“Kakak saya namanya Reni, usianya 28 tahun sekarang. Mas Pandu dan Mbak Reni menikah 4 tahun silam dengan beda umur 4 tahun lebih tua Mas Pandu. Walaupun begitu mereka serasi sekali. Mbak Reni sangat mencintai Mas Pandu, sebagai istri yang baik dia menuruti apapun keinginan dan perintah Mas Pandu. Saya dekat dengan Mbak Reni, jadi saya tau seberapa cintanya dia.”

Rena diam sejenak. Matanya mengawang, seperti sedang mengingat wajah bahagia Mbak Reni-nya. Mungkin Reni saking cintanya sampai harus melepas semua mimpinya demi bersama laki-laki bernama Pandu itu. Atau Reni keluar dari pekerjaannya sebagai manajer sebuah perusahaan migas demi ikut tugas suaminya yang pindah wilayah. Hei, kenapa aku jadi ikutan mengkhayal? Bukannya tadi aku berjanji tak mau mengira-ira? Aku mendengus. Tapi sepertinya Rena tidak sadar.

“Tiga tahun berlalu, mereka belum dikaruniai seorang anak. Mbak Reni sering bercerita pada saya bagaimana Mas Pandu yang mulai sering uring-uringan. Wajar bagi saya, karena memang begitu adanya seorang lelaki, bukan? Hingga terakhir Mbak Reni ke dokter dan saya menemaninya untuk periksa. Mas Pandu sedang ada rapat seharian jadi tak mungkin menemaninya. Dan…kami terkejut untuk kali pertama, mengetahui apa yang terjadi dengan Mbak Reni,”

Aku mulai tertarik, “Kenapa dia?”

Rena menghela nafas lalu meneruskan,”Mbak Reni sakit. Kanker rahim stadium 2,”

“Bagaimana bisa dia tidak menyadari?” tanyaku keheranan.

“Mbak Reni sangat aktif. Walaupun tidak bekerja kantoran, dia ikut mengelola yayasan anak di kota kami. Dia beberapa kali mengeluh sakit perut, tapi dia pikir itu biasa saja. Hingga yah, tes dokter mengatakan semuanya. Mbak Reni menyuruh saya merahasiakan ini dari Mas Pandu. Tapi apalah, seorang suami mempunyai insting yang kuat bukan kepada istrinya? Terbongkarlah semuanya. Mas Pandu mengunci diri di kamar yang lain seharian. Dan saya yang bertugas menemani Mbak Reni selama itu. Orang tua kami belum tau, dan saya rasa sebentar lagi mereka tau.”

“Mas Pandu keluar dari kamar hari berikutnya. Dia berkata pada saya, dia akan membantu biaya pengobatan Mbak Reni. Saya lega awalnya, saya pikir dia suami yang bertanggungjawab. Tapi saya salah,” Reni mulai berlinangan air mata.

“Dia menceraikan kakakmu?” tebakku.

“Tidak. Dia memang memberi sejumlah uang untuk penyembuhan Mbak Reni. Sepekan kemudian dia menghilang. Kami mencoba mengontak semua nomornya, bahkan ke kantornya. Tapi dia seperti lenyap dari bumi. Mbak Reni menangis terus, dan penyakitnya tambah parah. Kamu tau, kesembuhan seseorang kadang ditentukan dengan seberapa semangatnya untuk bertahan hidup. Dan Mbak Reni kehilangan itu. Dia terus menyalahkan dirinya dan berkata dia tidak bisa hidup tanpa Mas Pandu. Kondisinya terus memburuk, kankernya bahkan mencapai stadium empat dalam beberapa bulan ini. ada satu hal yang membuatnya terus bertahan….”

“Apa itu?” tanyaku penasaran.

“Dia percaya, dia tidak akan mati sebelum dia menemukan Mas Pandu.”

Aku mengusap wajah. Apa-apaan ini, kupikir cerita seperti ini hanya ada dalam novel dan sinetron picisan yang suka ditonton ibuku di rumah. Ternyata benar ada, dan seorang Rena menceritakan semuanya di depanku. Seorang gadis yang baru saja kukenal –bahkan aku tidak tau nama lengkapnya dan berapa umurnya- menceritakan semua problema hidup kakaknya. Jangan-jangan aku dibodohi? Tapi dari wajahnya sepertinya dia jujur.

“Bagaimana bisa kamu menemukanku?”

“Saya hanya ingat dimana Mas Pandu dulu kuliah. Lalu saya melihatmu di selebaran seminar, lulusan universitas yang sama dengan Mas Pandu. Dari sanalah saya mendapat nomormu,”

Oke, manusia bernama Eka Pandu ini sealmamater denganku? Bahkan aku tidak tau dia angkatan berapa dan jurusan apa. Apa gadis ini berpikir satu kampus seperti satu sekolah jaman SD?

“Bisakah kamu membantu saya menemukan Mas Pandu? Saya tidak tau berapa lama lagi Mbak Reni bertahan. Tapi saya ingin mewujudkan keyakinannya,”

“Kenapa kamu mau melakukan ini?”

“Karena saya sangat mencintai Mbak Reni. Lebih dari diri saya sendiri. Saya tau saya berlebihan. Tapi, dialah kakak, teman, sekaligus guru hidup yang sudah mengajarkan saya banyak hal. Saya hanya ingin membuatnya bahagia di akhir hidupnya,”

Cinta, ya? Kudengar cinta memang dahsyat, tapi aku baru menemukan cinta yang hebat dari adik ke kakaknya ada dalam diri Reni dan Rena. Apa ini memang terjadi pada banyak orang, ataukah aku yang tidak merasakan dan memperdulikannya? Baiklah, hubunganku dengan Zaqi memang tak semesra Rena dan Reni.

“Kalau aku belum bisa menemukannya?”

Rena terseyum, pahit.

“Saya berusaha mencari Mas Pandu, dengan cara apapun. Tidak dengan kamu pun, saya akan mencarinya sampai ketemu,”

“Kalau Pandu ketemu, kamu mau apa?”

“Memintanya menengok Mbak Reni, sekali saja. Bagi saya itu cukup, dan bagi Mbak Reni juga,”
Aku menghela nafas lagi. Jadi PR-mu sekarang Aldo, mencari manusia bernama Eka Pandu demi Reni yang penasaran.

“Baiklah, kalau aku tau infonya nanti kukabari. Nomor tadi pagi milikmu, kan?”

Rena mengangguk, matanya berbinar,”Terimakasih!”

Dia menghabiskan cappuccinonya dan bersiap pergi. Aku masih ingin di sini. Menghabiskan Latte yang mulai dingin sambil mengecek agendaku besok.

Handphone Rena berdering, dia sedikit terperanjat.

“Halo, Laras. Ya, ada apa?”

Aku tak bisa mendengar suara di ujung telepon, tapi aku kira berita buruk karena kemudian wajah Rena tampak terkejut dan panik.

“Astaga, oke, aku segera pulang. Satu jam lagi aku sampai, Ras. Oke makasih, Ras.”

 “Ada apa?” tanyaku begitu dia menutup telepon.

“Kondisi Mbak Reni kritis, saya harus segera kembali ke rumah sakit.”

“Oke, hati-hati, semoga Reni baik-baik saja,”

“Terimakasih, saya duluan.”

Begitu dia keluar kafe, aku termenung. Panggilan Kavita tak kuhiraukan. Segera aku membuka buku agendaku. Oke ini zaman gadget, tapi aku lebih suka menuliskannya di buku agenda. Hmm… besok hari Rabu, ya…

Ø   Meeting klien 09.00
Ø  Isi seminar leadership dengan Eka Pandu 13.00

Wait… Oh, Tuhan! Aku ingat sekarang. Eka Pandu adalah seorang enterpeneur di kota ini dan besok dia seminar bersamaku!

Segera aku menelepon Wasta, panitia seminar mahasiswa yang menjadi LO ku untuk meminta nomor Eka Pandu. Sedikit tergesa aku kembali menelepon Rena. Berkali-kali tidak diangkat. Mungkin dia sedang dalam perjalanan.

Tiba-tiba aku ingat perkataan Rena barusan.

“Ada satu hal yang membuatnya terus bertahan. Ia percaya, dia tidak akan mati sebelum dia menemukan Mas Pandu.”


------------------------------------the End -----------------------------------


ditulis oleh : The Phantomhive. contact her at seven.united73@gmail.com

fiksi ini diikutkan dalam kompetisi give away "berawal dari kalimat pertama" http://mandewi.com/2015/01/30/giveaway-berawal-dari-kalimat-pertama/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar